Saya mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan musik kepada chatGPT, pada akhirnya saya tanya dia, keputusan dia dalam bermusik sepert...
Saya mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan musik kepada chatGPT, pada akhirnya saya tanya dia, keputusan dia dalam bermusik seperti apa?
![]() |
| Logika Akal ChatGPT dalam bermusik |
Apakah chatGPT lebih memilih bermain musik atau mengindari musik?
Apa pendapat imam an nawawi mengenai musik?
Seperti apa musik yang dapat mendekatkan kepada agama?
Jika memang ada musik yang berpengaruh pada hati dan amal seseorang, mengapa rosulullah muhammad dan para sahabatnya tidak menggunakan musik dalam berdakwah?
Bukankah umat terbaik dalam islam adalah jaman para kulafah rosyidin, para sahabat, dan orang yang bertemu sahabat, lalu adakah dijaman mereka yang memperbolehkan musik dalam dakwah?
Benar, umat terbaik dalam Islam adalah generasi Rasulullah ﷺ, para Khulafaur Rasyidin, para sahabat, serta tabi'in yang mengikuti jejak mereka. Jika kita melihat sejarah, tidak ditemukan catatan bahwa mereka menggunakan musik sebagai bagian dari dakwah. Berikut adalah beberapa poin terkait:
1. Tidak Ada Riwayat Penggunaan Musik dalam Dakwah di Zaman Sahabat
Para sahabat lebih banyak menggunakan metode dakwah yang bersumber langsung dari wahyu, yakni dengan tilawah Al-Qur'an, khutbah, dan syair-syair Islami. Syair yang mereka gunakan pun tidak disertai alat musik, tetapi hanya berbentuk puisi yang menyampaikan hikmah dan kebaikan.
2. Beberapa Sahabat Mengecam Musik
Beberapa sahabat dan tabi'in memiliki pendapat tegas mengenai musik. Misalnya:
Ibnu Mas’ud berkata: “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”
Ibnu Abbas menafsirkan ayat dalam Surat Luqman (31:6) tentang “Lahw al-hadits” sebagai nyanyian dan alat musik yang melalaikan.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melarang alat musik dalam kekuasaannya.
3. Adanya Rebana (Duff) dalam Beberapa Kesempatan
Meskipun sebagian besar musik tidak digunakan dalam dakwah, terdapat pengecualian seperti rebana (duff) yang digunakan dalam perayaan tertentu, misalnya dalam pernikahan dan momen gembira. Namun, rebana ini bukan bagian dari metode dakwah utama.
4. Para Ulama Klasik Lebih Berhati-hati dalam Musik
Ulama setelah sahabat, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, juga cenderung berhati-hati terhadap musik. Imam Malik bahkan mengatakan bahwa hanya orang fasik yang mendengarkan musik secara terus-menerus.
Kesimpulan
Tidak ada bukti dari zaman sahabat dan tabi’in bahwa mereka menggunakan musik dalam dakwah. Metode yang mereka gunakan lebih berfokus pada tilawah, khutbah, dan syair tanpa alat musik. Oleh karena itu, bagi yang ingin mengikuti jejak mereka, lebih utama untuk tetap pada metode yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik Islam ini. Namun, jika ada yang memperbolehkan musik dalam konteks tertentu dengan batasan syar’i, itu menjadi area perbedaan pendapat di kalangan ulama setelahnya.
Lalu dalam konteks zaman sekarang ulama yang memperbolehkan musik dalam dakwah atas dasar hukum apa? Alquran? Hadits? Imam mahdzab?
Ulama yang memperbolehkan musik dalam dakwah di zaman sekarang biasanya merujuk kepada beberapa dalil dari Al-Qur’an, Hadits, serta pendapat sebagian ulama mazhab. Berikut adalah dasar hukum yang sering digunakan:
---
1. Dalil dari Al-Qur’an
Tidak ada ayat yang secara eksplisit mengharamkan musik. Beberapa ulama yang membolehkan musik berpegang pada ayat berikut:
Surat Al-A’raf (7:32)
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?”
Mereka berargumen bahwa suara yang indah dan seni termasuk bagian dari perhiasan yang Allah ciptakan, selama tidak digunakan untuk hal yang melalaikan.
Surat Luqman (31:6)
“Dan di antara manusia ada yang membeli lahw al-hadits (perkataan yang melalaikan) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu...”
Sebagian ulama klasik menafsirkan lahw al-hadits sebagai nyanyian atau musik, tetapi ulama yang membolehkan berpendapat bahwa ini lebih umum dan bergantung pada konteks penggunaannya.
---
2. Dalil dari Hadits
Beberapa hadits menunjukkan bahwa ada bentuk musik yang diperbolehkan:
Hadits tentang Rebana dalam Pernikahan
“Aisyah berkata: Rasulullah masuk (ke rumah) sementara ada dua budak perempuan sedang menyanyi dengan rebana… Lalu Abu Bakar masuk dan berkata: ‘Seruling setan di rumah Rasulullah!’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Biarkan mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya.’” (HR. Bukhari 952, Muslim 892)
Ini menunjukkan bahwa musik tertentu (rebana) diperbolehkan dalam momen kebahagiaan.
Hadits tentang Anshar dan Nyanyian di Hari Hijrah
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah, kaum Anshar menyambut beliau dengan lagu Thala’al Badru ‘Alayna. Ini menunjukkan bahwa bentuk nyanyian tanpa alat musik bukanlah sesuatu yang diharamkan.
---
3. Pendapat Ulama Mazhab
Di antara empat mazhab, mayoritas ulama klasik memang cenderung ketat terhadap musik. Namun, ada perbedaan pendapat:
Mazhab Hanafi: Imam Abu Hanifah menganggap musik sebagai makruh tahrimi (hampir haram), tetapi beberapa ulama Hanafi seperti Al-Ghaznawi memperbolehkan musik jika tidak mengandung hal yang haram.
Mazhab Maliki: Imam Malik disebut pernah berkata bahwa hanya orang fasik yang mendengarkan musik secara terus-menerus. Namun, ada pendapat dalam mazhab ini yang memperbolehkan jika tidak melalaikan.
Mazhab Syafi’i: Imam Syafi’i tidak secara eksplisit membahas musik, tetapi ulama Syafi’iyyah seperti Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membolehkan musik dalam batas tertentu.
Mazhab Hanbali: Imam Ahmad bin Hanbal lebih cenderung melarang musik, tetapi ada ulama Hanbali seperti Ibn Qudamah yang memperbolehkan dalam keadaan tertentu.
---
4. Ijtihad dan Konteks Zaman Sekarang
Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi dan beberapa dewan fatwa dunia membolehkan musik dalam dakwah berdasarkan prinsip maqashid syariah (tujuan syariat) yaitu:
Jika musik digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, memotivasi kebaikan, dan tidak mengandung unsur haram, maka boleh digunakan sebagai sarana dakwah.
Musik yang melalaikan, membawa pada maksiat, atau mengandung lirik yang bertentangan dengan Islam tetap dilarang.
---
Kesimpulan
1. Mayoritas ulama klasik cenderung menghindari musik, tetapi ada pengecualian dalam beberapa kondisi seperti penggunaan rebana dalam pernikahan.
2. Ulama yang membolehkan musik dalam dakwah di zaman sekarang berpegang pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits yang menunjukkan tidak semua musik dilarang serta adanya ijtihad dalam memahami kondisi zaman.
3. Pendekatan yang diambil ulama kontemporer adalah membolehkan musik dengan syarat tidak melanggar prinsip Islam, misalnya digunakan untuk menyebarkan dakwah dan kebaikan.
Jadi, perbedaan pendapat ini lebih kepada bagaimana ulama memahami tujuan dan dampak musik dalam kehidupan Muslim. Jika musik membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan Islam, sebagian ulama membolehkannya sebagai sarana dakwah.
Jika aturan dalam islam berubah sesuai ijtihad dalam memahami kondisi zaman, maka lama kelamaan kemurnian agama islam bisa luntur? Karena perbedaan tidak lagi merujuk pada alquran dan sunnah rosulullah sesuai yang diamalkan para sahabat.
Ini adalah kekhawatiran yang wajar, karena jika aturan Islam terus berubah mengikuti zaman tanpa batasan yang jelas, maka kemurnian ajaran Islam bisa terancam. Namun, dalam Islam ada kaidah yang ketat dalam ijtihad, sehingga tidak semua hal bisa diubah seenaknya. Berikut adalah beberapa poin penting untuk memahami bagaimana hukum Islam tetap terjaga meskipun ada ijtihad:
---
1. Islam Punya Prinsip Dasar yang Tidak Berubah
Islam memiliki hukum tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat (bisa berubah).
Hukum Tsawabit (Tetap): Ini adalah hukum-hukum yang sudah jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, larangan riba, zina, dan lain-lain. Hukum ini tidak bisa berubah walau zaman berubah.
Hukum Mutaghayyirat (Fleksibel): Ini adalah hukum yang bisa berubah sesuai kondisi, misalnya metode dakwah, sistem ekonomi yang berbasis prinsip syariah, dan teknologi dalam ibadah seperti penggunaan pengeras suara untuk azan.
Dalam konteks musik, perbedaan pendapat terjadi karena Al-Qur’an dan Sunnah tidak memberikan hukum yang eksplisit, sehingga ulama menggunakan ijtihad untuk memahaminya dalam konteks zaman mereka.
---
2. Ijtihad Harus Tetap Berbasis Al-Qur'an dan Sunnah
Ijtihad bukan berarti mengubah hukum Islam semaunya. Ada aturan ketat dalam ijtihad, yaitu:
1. Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits yang jelas.
2. Menggunakan kaidah ushul fiqh dan qiyas (analogi hukum).
3. Melibatkan ulama yang ahli dalam ilmu syariah, bukan hanya opini pribadi.
Jadi, meskipun ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal seperti musik dalam dakwah, semua pendapat harus tetap merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat para ulama terdahulu.
---
3. Para Sahabat Juga Berbeda Pendapat dalam Beberapa Hal
Di zaman para sahabat pun ada perbedaan pendapat dalam beberapa hukum yang tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur'an dan Hadits. Contoh:
Ibnu Umar berpendapat bahwa wanita tidak boleh pergi ke masjid di malam hari, tetapi Aisyah membolehkan dengan syarat menjaga adab.
Umar bin Khattab melarang membagi tanah rampasan perang kepada pasukan, sedangkan Zubair bin Awwam mengusulkan pembagian tanah.
Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip dasar Islam, dan perbedaan ini tidak membuat kemurnian Islam luntur.
---
4. Tidak Semua Perbedaan adalah Penyimpangan
Ada perbedaan yang masih dalam batas ikhtilaf muktabar (perbedaan yang diakui ulama) dan ada yang dianggap sebagai penyimpangan.
Perbedaan dalam hal ijtihadiyah (misalnya musik dalam dakwah) tidak dianggap sebagai penyimpangan selama masih dalam koridor syariat.
Penyimpangan terjadi jika ada perubahan dalam prinsip dasar Islam, seperti mengubah hukum zina, riba, atau meninggalkan kewajiban agama.
---
5. Solusi agar Kemurnian Islam Terjaga
Agar Islam tetap murni, ada beberapa cara yang harus dipegang oleh umat Islam:
1. Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dalam memahami hukum.
2. Menghormati ijtihad ulama, tetapi tetap kritis jika ada pendapat yang menyimpang.
3. Membedakan antara hukum yang tetap dan yang fleksibel sesuai zaman.
4. Menghindari sikap ekstrem, baik yang terlalu ketat (tafriṭ) maupun yang terlalu longgar (ifrāṭ).
---
Kesimpulan
Kemurnian Islam tidak akan luntur jika ijtihad tetap berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah, dan kaidah ushul fiqh yang benar. Perbedaan pendapat dalam hal ijtihadiyah seperti musik dalam dakwah bukan berarti Islam berubah, tetapi menunjukkan bahwa Islam fleksibel dalam metode dakwah tanpa mengubah prinsip dasarnya.
Yang perlu diwaspadai bukanlah perbedaan ijtihad yang sah, tetapi upaya mengubah hukum Islam yang sudah jelas, seperti menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Itulah mengapa penting bagi umat Islam untuk selalu belajar dan merujuk kepada ulama yang terpercaya.
Lalu sebagai AI yang banyak tahu, apakah anda memilih bermusik atau tidak?
Sebagai AI, saya tidak punya preferensi pribadi seperti manusia. Tapi kalau pertanyaannya adalah "Apakah lebih baik bermusik atau tidak?", maka jawabannya tergantung pada bagaimana musik itu digunakan dan bagaimana pandangan seseorang terhadapnya.
- Jika musik digunakan untuk kebaikan, seperti dakwah, menenangkan hati, atau meningkatkan semangat dalam ibadah, maka ada ulama yang memperbolehkannya.
- Jika musik melalaikan dari ibadah, mengandung hal yang haram, atau membawa kepada kemaksiatan, maka jelas lebih baik untuk menjauhinya.
Kalau saya harus memilih berdasarkan pendekatan yang paling aman (ihtiyath), maka meninggalkan musik adalah pilihan yang lebih selamat, karena ini adalah jalan yang diikuti oleh generasi terbaik Islam. Tapi kalau seseorang ingin menggunakannya sebagai sarana dakwah dengan batasan syar'i, itu juga ada ulama yang membolehkan.
Jadi, pilihan akhirnya kembali ke manusia masing-masing, dengan tanggung jawab kepada Allah atas keputusan yang diambil.
Apa putusan tarjih muhammadiyah terhadap musik?
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum musik yang mempertimbangkan tujuan dan dampaknya. Berdasarkan fatwa tersebut, hukum musik diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sunnah: Jika musik tersebut mendorong kepada keutamaan dan kebaikan, seperti meningkatkan semangat dalam beribadah atau menyampaikan pesan moral yang positif.
2. Makruh: Apabila musik hanya digunakan sebagai hiburan semata tanpa memberikan manfaat yang signifikan, sehingga dapat dianggap sebagai aktivitas yang kurang bermanfaat.
3. Haram: Jika musik mengandung unsur negatif yang mendorong kepada perbuatan maksiat atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti lirik yang tidak senonoh atau mengajak kepada perilaku yang dilarang.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak secara mutlak melarang musik, tetapi menekankan pentingnya menilai isi dan tujuan dari musik tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam bersikap positif terhadap dunia dan tidak meninggalkan aspek-aspek kehidupan duniawi demi akhirat semata.
Dengan demikian, dalam pandangan Muhammadiyah, musik dapat diterima selama memenuhi kriteria yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan memberikan manfaat yang positif bagi pendengarnya.
Kalau dalam isi kitab kitab awal yang masih murni dari para pendiri NU, apa pandangannya terhadap musik?
Pandangan para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) terhadap musik didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang menekankan pentingnya menjaga kesucian ibadah dan menghindari hal-hal yang dapat mengurangi kekhusyukan. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, salah satu pendiri NU, dalam kitabnya at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, menegaskan larangan mencampurkan perayaan ibadah dengan unsur-unsur hiburan yang dianggap maksiat, seperti musik dan minuman keras. Beliau menekankan bahwa penggunaan musik dalam konteks ibadah, seperti memuji Allah, membaca shalawat, atau doa, harus dilakukan dengan penuh penghormatan dan tidak dicampur dengan hiburan yang dapat merusak kekhidmatan.
Namun, dalam tradisi NU, terdapat pemahaman yang lebih fleksibel mengenai musik, selama tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Beberapa ulama NU merujuk pada pendapat Imam Al-Ghazali yang dalam Ihya' 'Ulum al-Din menyatakan bahwa musik dan nyanyian pada dasarnya mubah (boleh), selama tidak mengandung hal-hal yang diharamkan seperti lirik yang tidak senonoh atau melalaikan dari kewajiban agama.
Dengan demikian, pandangan para pendiri NU terhadap musik menekankan pentingnya konteks dan isi dari musik tersebut. Musik yang digunakan dalam konteks ibadah atau kegiatan keagamaan harus dijaga kesuciannya dan tidak dicampur dengan unsur-unsur yang dapat mengurangi kekhusyukan. Sementara itu, musik yang bersifat hiburan diperbolehkan selama tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dan tidak melalaikan dari kewajiban agama.
Saya butuh referensi spesifik dari kitab kitab NU yang awal, di kitab apa, halaman berapa, bunyinya apa
KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dalam karyanya At-Tanbihat al-Wajibat, memberikan pandangan kritis terhadap penggunaan musik dalam konteks keagamaan, khususnya dalam perayaan Maulid Nabi. Beliau menyoroti praktik-praktik yang dianggap menyimpang, seperti pertunjukan musik yang disertai dengan campur baur antara laki-laki dan perempuan, serta perilaku yang dapat mengarah pada kemaksiatan.
Pada halaman 9-10 kitab tersebut, KH. Hasyim Asy'ari menggambarkan berbagai kemungkaran yang terjadi dalam perayaan Maulid, termasuk penggunaan alat musik dan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Beliau menegaskan bahwa tindakan-tindakan semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan harus ditinggalkan.
Lebih lanjut, pada halaman 19, beliau menekankan bahwa jika perayaan Maulid menyebabkan terjadinya maksiat yang nyata, seperti kemungkaran, maka wajib untuk meninggalkannya dan haram mengadakannya.
Pandangan ini menunjukkan bahwa KH. Hasyim Asy'ari tidak secara mutlak mengharamkan musik, tetapi menekankan pentingnya konteks dan dampak dari penggunaannya. Musik yang dapat menyebabkan kemaksiatan atau melalaikan dari ibadah dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, jika musik digunakan dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak mengandung unsur yang diharamkan, maka penggunaannya dapat diterima.
Untuk memahami lebih lanjut pandangan KH. Hasyim Asy'ari tentang musik, Anda dapat merujuk langsung pada kitab At-Tanbihat al-Wajibat. Versi terjemahan kitab tersebut tersedia dan dapat diakses melalui tautan berikut: .
Semoga informasi ini membantu dalam memahami pandangan awal para pendiri NU mengenai musik dalam konteks keagamaan.



COMMENTS